Dulu, sebuah keyakinan yang menuntunku kesana. Berdiri
dengan penuh semangat dan kepecayaan karena aku yakin aku mampu disana,
meskipun hujan menerjang, panas terik yang seakan membakar, aku ingin berjuang
disana melawan jiwaku yang penakut dan jiwa yang lemah ini. Setahun, kita
melalui pertunjukan kecil-kecilan kita. Pementasan yang juga melibatkan waktu
dan ketulusan untuk pencapaian maksimal. Bercanda gurau, tertawa kecil-kecilan,
saling membantu dan selalu ada untuk kebersamaan. Meskipun pangeranku tak ikut
hadir untuk pertunjukan itu, tapi dia masih menjadi semangat berkobar bagiku.
Jiwaku yang hampir terjatuh karena kepayahanku, tak lagi pincang karena dia seakan
melengkapiku dari jauh. Pentas pertamaku dimulai dengan sambut meriah, aku dan
mereka yang menjadi satu kesatuan mempersembahkan yang terbaik yang kita bisa.
Menari, dipanggung itu kita menari. Beradu acting yang menjadi jiwa keseharian
kita. Untuk kali pertama aku berada di panggung pementasan teater, meskipun
hanya figuran bisu tapi semua cukup berkesan untuk pengalaman pertamaku.
Menaripun aku sangat bahagia, jiwa penariku seakan kembali utuh. Hingga diakhir
pementasan kita mendapat sorak sorai tepuk tangan yang begitu meriah. Aku
bahagia berteman kalian, jiwakupun mulai berakar tumbuh di panggung sandiwara.
Tahun berganti, dengan segenap kekukuhanku aku tak
henti-henti berharap aku bisa menjadi lakon yang nyata di panggung sandiwara
kita. Berharap diberi hati nyatanya diberi empedu. Pahit, rasanya ketika semua
teman seperjuanganku turut berpentas dan aku tidak, meskipun dibelakang
layarpun aku masih berharap tapi mereka hanya menyiakanku, menyiakan
kesungguhanku. Merekalah, mereka yang dulu sepanggung sandiwara denganku setega
itu berlaku padaku. Ikhlas, aku belajar merelakannya, tapi mengapa mereka
justru menjadikanku bak pembantu. Terombang-ambing kesana kemari dengan membawa
sedikit harapanku yang mulai habis, aku menjadi pesuruh. Si pangeran, putra
kerajaan yang menjadi tautan hatikupun tak turut membantu, bahkan menghiburpun
tak mau. Maaf jika aku sakit hati, sedalam ini aku merasa dikhianati. Sakit
TEMAN. Sakit hati ini hanya bisa kuadukan pada Allah, Tuhan yang maha
segala-galanya. Hingga akhirnya mereka tak berhasil menjadi yang terbaik,
mereka dikalahkan dan do’aku terkabul. Syukur, aku menangis tersendu. Bukan
karena aku mendendam mereka, tapi berharap kesadaran mereka meskipun sedikit
saja. Namun, waktu tak kunjung membuat mereka mengerti. Aku BERHENTI. Tak ingin
lagi berharap diberi hati, hati mereka beku seperti Pangeranku yang juga turut
membunuhku. Aku menjauh, mencoba menghilang dari panggung sandiwara itu.
Meskipun dulu mereka bagai malaikatku, tapi kini entah apa mereka bagiku.
Mereka bersandiwara bodoh, atau memang menbenciku, aku tak tahu. Meski pernah
mereka mengajakku kembali dalam dunia panggung sandiwara itu, aku pun tak mau.
Aku tak ingin mengulang kesalahanku dulu. Sebuah ketulusan yang disia-sia. Aku
belajar rela kawan meskipun hingga kini separuh jiwaku masih disana. Kini kita
memang harus berpisah, bukan karena tak lagi sepanggung sandiwara, tapi ini
perpisahan yang nyata. Terima kasih, kita pernah berjuang disana banyak
pengalaman berharga yang aku dapatkan, meski berawal dari senyuman dan
kepercayaan hingga akhirnya harus menjadi kedukaan dan pengkhianatan. Aku bersyukur,
berteman kalian. Tanpa kalian aku belum bisa jadi dewasa, dan aku pun tak akan
bisa dapatkan pengalaman yang berharga ini. Maaf aku banyaaaaaaaaaaaaak salah,
karena aku masih belajar dewasa. #ttrsrpt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar