Sabtu, 19 April 2014

Panggung Sandiwara

Dulu, sebuah keyakinan yang menuntunku kesana. Berdiri dengan penuh semangat dan kepecayaan karena aku yakin aku mampu disana, meskipun hujan menerjang, panas terik yang seakan membakar, aku ingin berjuang disana melawan jiwaku yang penakut dan jiwa yang lemah ini. Setahun, kita melalui pertunjukan kecil-kecilan kita. Pementasan yang juga melibatkan waktu dan ketulusan untuk pencapaian maksimal. Bercanda gurau, tertawa kecil-kecilan, saling membantu dan selalu ada untuk kebersamaan. Meskipun pangeranku tak ikut hadir untuk pertunjukan itu, tapi dia masih menjadi semangat berkobar bagiku. Jiwaku yang hampir terjatuh karena kepayahanku, tak lagi pincang karena dia seakan melengkapiku dari jauh. Pentas pertamaku dimulai dengan sambut meriah, aku dan mereka yang menjadi satu kesatuan mempersembahkan yang terbaik yang kita bisa. Menari, dipanggung itu kita menari. Beradu acting yang menjadi jiwa keseharian kita. Untuk kali pertama aku berada di panggung pementasan teater, meskipun hanya figuran bisu tapi semua cukup berkesan untuk pengalaman pertamaku. Menaripun aku sangat bahagia, jiwa penariku seakan kembali utuh. Hingga diakhir pementasan kita mendapat sorak sorai tepuk tangan yang begitu meriah. Aku bahagia berteman kalian, jiwakupun mulai berakar tumbuh di panggung sandiwara.

Tahun berganti, dengan segenap kekukuhanku aku tak henti-henti berharap aku bisa menjadi lakon yang nyata di panggung sandiwara kita. Berharap diberi hati nyatanya diberi empedu. Pahit, rasanya ketika semua teman seperjuanganku turut berpentas dan aku tidak, meskipun dibelakang layarpun aku masih berharap tapi mereka hanya menyiakanku, menyiakan kesungguhanku. Merekalah, mereka yang dulu sepanggung sandiwara denganku setega itu berlaku padaku. Ikhlas, aku belajar merelakannya, tapi mengapa mereka justru menjadikanku bak pembantu. Terombang-ambing kesana kemari dengan membawa sedikit harapanku yang mulai habis, aku menjadi pesuruh. Si pangeran, putra kerajaan yang menjadi tautan hatikupun tak turut membantu, bahkan menghiburpun tak mau. Maaf jika aku sakit hati, sedalam ini aku merasa dikhianati. Sakit TEMAN. Sakit hati ini hanya bisa kuadukan pada Allah, Tuhan yang maha segala-galanya. Hingga akhirnya mereka tak berhasil menjadi yang terbaik, mereka dikalahkan dan do’aku terkabul. Syukur, aku menangis tersendu. Bukan karena aku mendendam mereka, tapi berharap kesadaran mereka meskipun sedikit saja. Namun, waktu tak kunjung membuat mereka mengerti. Aku BERHENTI. Tak ingin lagi berharap diberi hati, hati mereka beku seperti Pangeranku yang juga turut membunuhku. Aku menjauh, mencoba menghilang dari panggung sandiwara itu. Meskipun dulu mereka bagai malaikatku, tapi kini entah apa mereka bagiku. Mereka bersandiwara bodoh, atau memang menbenciku, aku tak tahu. Meski pernah mereka mengajakku kembali dalam dunia panggung sandiwara itu, aku pun tak mau. Aku tak ingin mengulang kesalahanku dulu. Sebuah ketulusan yang disia-sia. Aku belajar rela kawan meskipun hingga kini separuh jiwaku masih disana. Kini kita memang harus berpisah, bukan karena tak lagi sepanggung sandiwara, tapi ini perpisahan yang nyata. Terima kasih, kita pernah berjuang disana banyak pengalaman berharga yang aku dapatkan, meski berawal dari senyuman dan kepercayaan hingga akhirnya harus menjadi kedukaan dan pengkhianatan. Aku bersyukur, berteman kalian. Tanpa kalian aku belum bisa jadi dewasa, dan aku pun tak akan bisa dapatkan pengalaman yang berharga ini. Maaf aku banyaaaaaaaaaaaaak salah, karena aku masih belajar dewasa. #ttrsrpt

Tidak ada komentar:

Posting Komentar